Kamis, 26 Februari 2015

Peran Kader HMI dalam Membangun Semangat Nasional di Era Globalisasi



PERAN KADER HMI DALAM MEWUJUDKAN KEBANGKITAN NASIONAL KEDUA

Mahasiswa Sebagai Bagian Dari Badan Generasi  Pemuda
           Generasi muda sekarang memiliki semangat yang besar dan mempunyai sebuah tujuan bersama dalam  mengisi kemerdekaan yang telah direbut oleh generasi darah juang pada tahun 45 dengan begitu banyak pengorbanan. Tugas dan tantanagan pemuda adalah melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan di dalam segala bidang kehidupan serta mewujudkan masyarakat adil dan makmur. (Sagimun, 1989; 357)
           Mahasiswa adalah kelompok yang tepat untuk menjadi ujung tombak karena ada empat faktor yang dimiliki mahasiswa tersebut, yaitu muda, sehat badan, sehat ekonomi, dan pengetahuan yang cukup. Ditambah lagi stratifikasi sosial mahasiswa di indonesia sebgai orang-orang pilihan dari semua pilihan, apalagi di tempat-tempat unggulan. (Nurcholis Madjid, 1998; 304)
           Mahasiswa adalah aktor penggerak dari sebuah perubahan demi membela masyarakat banyak, seorang mahasiswa dalam dunia perguruan tinggi telah memiliki potensi besar dalam sebuah kompetensi dari berbagai sektor kegiatan yang ada, hal ini dikarenakan berawal dari berbagai hal yang menyemangatkan dirinya dalam mencapai tujuan akan ideologinya.
            Arbi Sanit sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Rusli Karim menyebutkan bahwa mahasiswa adalah kekuatan potensial karena beberapa hal. Pertama, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama menduduki bangku pendidikan—sekolah sampai perguruan tinggi—sehingga telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Dengan demikian, mahasiswa mempunyai pengatahuan yang relatif baik dibandingkan dengan kelompok lain. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya yang unik di kalangan mahasiswa. Di kampus, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan agama menjalin interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka perguruan tinggi telah mengkristal sebagai basis pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan angkatan muda. Keempat, mahasiswa merupakan kalangan “elit” di kalangan angkatan muda karena mewakili kelompok yang bakal memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat. Kelima, meningkatnya kepemimpinan di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan orientasi masyarakat. (M Rusli Karim, 1997; 92)

Kondisi Umat Dan Bangsa
            Berbicara tentang HMI, maka kita akan melihat kepada eksistensi suatu kelompok sosial yang merupakan kesatuan dari mahasiswa yang teroganisir denagn mencantumkan islam sebagi predikatnya, eksistensi HMI sebagai kelompok sosial adalah merupakan manifestasi dari konfigurasi sosial budaya masyarakat indonesia.(Ridwan Saidi, 1984; 123)
Islam secara transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh manusia.
           Setiap makhluk di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi.
             Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial, dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam sebagai rival.
           Sementara itu, umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
           Indonesia sendiri adalah bangsa yang paling sedikit mengalami ”arabisasi”. Di indonesia islam tidak mengantikan –agama-agama sebelumnya melalui kekuatan militer, namun dilakukan melalui penetrasi damai (penetration paciufique) terutama hubungan dagang dan pernikahan. Karena itu perkembanagan kebudayaan islam di indonesia sebagian besar merupakan hasil dialog antara nilai-nilai universal islam dengan ciri-ciri kultural kerukanan nusantara. (Nurcholis Madjid dalam Mark R. Woodword, 1996; 94)
            Keterbelakangan Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain, walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya.

Peran Kader Hmi Dalam Mewujudkan Kebangkitan Nasional
            Jalaluddin rahmat memberikan defenisi kebangkitan bahwa kebangkitan itu diukur sejauh mana kita berhasilkan mengaktualkan potensi kita. Kebangkitan itu bukanlah tumbuhnya kesadaran beragama yang lebih tuntas atau tampaknya syiar-syiar agama yang bersifat ritual atau memperoleh kekuasaan politik atau ekonomi. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)
          HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua yang mulai berdiri di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya. pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi kosong tanpa isi. Hal itu hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini. Untuk itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir. Kritikan itu setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (sosial responsibility) dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang fadhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika keumatan yang ada.
             Kader-kader HMI dituntut untuk memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar \"tidur\" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam segenap praktek berorganisasinya

             Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh.
             
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.
             Kebutuhan saat ini adalah secara objektif, umat ini terbagi dalam kelas-kelas sosial dan kelas-kelas sosial itu mempunyai kepentingan fungsional masing-masing. Jadi kalau kita sudah berpikir untuk memulai gerakan poitik ekonomi atau katakanlah berpartisipasi dalam demokrasi, maka harus mulai menyadari bahwa kelompok-kelompom sosial mempunyai kepentingan real dan kita harus mengartikilasikan kepentingan mereka. Jangan hanya berpikiran subjektif-normatif tetapi harus mampu melihat secra objektif-empiris. (Kuntowijoyo, 1994; 203).



Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya. (Sidratahta Muchtar, 2006; 83)
Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Sehingga atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di tanah air tercinta ini, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community). Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual ini setidaknya juga tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kader (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.
Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam lintasan sejarah pendirian HMI yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm), diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda ideologis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, berhaluan Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta pada 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
             


Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII). Dari ceramah-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga kemudian HMI dengan cepat populer di nusantara. Selanjutnya HMI pun mengembangkan sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademisi di seluruh nusantar.a Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen.

Dengan demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial. Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam. Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center of excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di tengah meja).
Dengan orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara operatif akan lahir kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta hanya tunduk pada kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat untuk mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat inklusif dengan tetap mempertegas independensi organisasi.
Kondisi umat dan bangsa saat ini sangat memprihatinkan, denagn sejala bentuk ketimbangan dan kesembrawutan di mana-mana. Unmat islam tidak lagi memegang ukhuwah islamiyah dengan kuat sehingga perpecahan di kalangan umat islam sendiri.
Kondisi tersebut mengharuskan pemuda beekerja keras dan saling bahu mebahu sebagai tulang punggung bangsa untuk melakukan kebangkitan kedua sebagai mana yang dilakukan tempo dulu dengan berdirinya boedi oetomo dan lahirnya sumpah pemuda uintuk mengisi kemerdekaaan bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara.
Kader HMI sebagai bagian dari pemuda harus mengambil peran penting dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai ortganisasi kader dan membangun kembali gerakan intelektual yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan serta tetap pada independensinya.
Kita sebagai kader HMI yang mengemban misi keumatan dan misi kebangsaan untuk kembali membangun tradisi HMI dengan gerakan intelektualnya, karena HMI adalah organisasi kader. Peran HMI sebagai organisasi perjuangan harus selalu kita laksanakan, berjuang buntuk membela kaum mustad’afin.
 

Daftar Referensi


Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim. Mizan; Badung. 1991
Muchtar, Sidratahta. HMI dan Kekuasaan. Prestasi Pustaka; Jakarta. 2006
Saidi, Ridwan. Pemudsa Islam dalam Dinamika Politik Bangsa. CV. Rajawali; Jakarta. 1984
Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interprestasi untuk Aksi. Mizan; Bandung. 1994 Madjid, Nurcholis. Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai dalam Wacana Sosial Politik Kotemporer. Paramadina; Jakarta. 1998

0 komentar: