PERAN KADER HMI DALAM MEWUJUDKAN
KEBANGKITAN NASIONAL KEDUA
Mahasiswa
Sebagai Bagian Dari Badan Generasi Pemuda
Generasi muda
sekarang memiliki semangat yang besar dan mempunyai sebuah tujuan bersama dalam
mengisi kemerdekaan yang telah direbut
oleh generasi darah juang pada tahun 45 dengan begitu banyak pengorbanan. Tugas
dan tantanagan pemuda adalah melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan di dalam segala bidang kehidupan serta mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. (Sagimun, 1989; 357)
Mahasiswa
adalah kelompok yang tepat untuk menjadi ujung tombak karena ada empat faktor
yang dimiliki mahasiswa tersebut, yaitu muda, sehat badan, sehat ekonomi, dan
pengetahuan yang cukup. Ditambah lagi stratifikasi sosial mahasiswa di
indonesia sebgai orang-orang pilihan dari semua pilihan, apalagi di
tempat-tempat unggulan. (Nurcholis Madjid, 1998; 304)
Mahasiswa
adalah aktor penggerak dari sebuah perubahan demi membela masyarakat banyak,
seorang mahasiswa dalam dunia perguruan tinggi telah memiliki potensi besar
dalam sebuah kompetensi dari berbagai sektor kegiatan yang ada, hal ini
dikarenakan berawal dari berbagai hal yang menyemangatkan dirinya dalam
mencapai tujuan akan ideologinya.
Arbi Sanit
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Rusli Karim menyebutkan bahwa mahasiswa
adalah kekuatan potensial karena beberapa hal. Pertama, mahasiswa
merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga
mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan
masyarakat. Kedua, mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama
menduduki bangku pendidikan—sekolah sampai perguruan tinggi—sehingga telah
mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Dengan
demikian, mahasiswa mempunyai pengatahuan yang relatif baik dibandingkan dengan
kelompok lain. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya yang unik di
kalangan mahasiswa. Di kampus, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah,
suku, bahasa, dan agama menjalin interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika
dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka perguruan tinggi telah
mengkristal sebagai basis pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan
angkatan muda. Keempat, mahasiswa merupakan kalangan “elit” di kalangan
angkatan muda karena mewakili kelompok yang bakal memasuki lapisan atas dari
susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat. Kelima,
meningkatnya kepemimpinan di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari
perubahan orientasi masyarakat. (M Rusli Karim, 1997; 92)
Kondisi Umat Dan Bangsa
Berbicara
tentang HMI, maka kita akan melihat kepada eksistensi suatu kelompok sosial
yang merupakan kesatuan dari mahasiswa yang teroganisir denagn mencantumkan islam
sebagi predikatnya, eksistensi HMI sebagai kelompok sosial adalah merupakan
manifestasi dari konfigurasi sosial budaya masyarakat indonesia.(Ridwan Saidi,
1984; 123)
Islam secara
transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara
menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan
pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk
golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh
manusia.
Setiap makhluk
di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada
nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas
seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci
dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan
untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi.
Namun demikian,
seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial,
dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan
dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika
dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat
persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu
adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa
tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa
yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas
berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan
kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang
tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya
pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan
serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang
holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa
bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam
sebagai rival.
Sementara itu,
umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan
internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan
sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping
itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh
inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu
mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi
diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi
berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Indonesia sendiri adalah bangsa
yang paling sedikit mengalami ”arabisasi”. Di indonesia islam tidak mengantikan
–agama-agama sebelumnya melalui kekuatan militer, namun dilakukan melalui
penetrasi damai (penetration paciufique) terutama hubungan dagang dan
pernikahan. Karena itu perkembanagan kebudayaan islam di indonesia sebagian
besar merupakan hasil dialog antara nilai-nilai universal islam dengan
ciri-ciri kultural kerukanan nusantara. (Nurcholis Madjid dalam Mark R.
Woodword, 1996; 94)
Keterbelakangan
Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya
angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan
anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya
tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka
pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi
seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang
ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui
skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu
belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak
mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan
anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah
aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik
kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka
tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain,
walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada
kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi
oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa
yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak
sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya.
Peran Kader Hmi Dalam Mewujudkan Kebangkitan Nasional
Jalaluddin
rahmat memberikan defenisi kebangkitan bahwa kebangkitan itu diukur sejauh mana
kita berhasilkan mengaktualkan potensi kita. Kebangkitan itu bukanlah tumbuhnya
kesadaran beragama yang lebih tuntas atau tampaknya syiar-syiar agama yang
bersifat ritual atau memperoleh kekuasaan politik atau ekonomi. (Jalaluddin
Rahmat, 1991; 303)
HMI adalah
organisasi besar, organisasi tertua yang mulai berdiri di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak
para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya.
pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak
menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi
kosong tanpa isi. Hal itu hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang
mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan
orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini. Untuk
itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa
tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI
hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus
mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan
keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus
eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat
akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana
peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir. Kritikan itu
setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses
reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (sosial responsibility)
dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi
HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut
kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish
Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang
fadhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan
pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan
menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual
tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah
dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya
juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat
serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika
keumatan yang ada.
Kader-kader HMI dituntut untuk
memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional,
kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat
adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar
\"tidur\" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama
rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus
senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam
dalam segenap praktek berorganisasinya
Menyaksikan
kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk
membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya
terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar
bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita
alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan
mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya
umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen
semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian
dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan
citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas,
kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang
tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.
Kebutuhan saat
ini adalah secara objektif, umat ini terbagi dalam kelas-kelas sosial dan
kelas-kelas sosial itu mempunyai kepentingan fungsional masing-masing. Jadi
kalau kita sudah berpikir untuk memulai gerakan poitik ekonomi atau katakanlah
berpartisipasi dalam demokrasi, maka harus mulai menyadari bahwa
kelompok-kelompom sosial mempunyai kepentingan real dan kita harus
mengartikilasikan kepentingan mereka. Jangan hanya berpikiran
subjektif-normatif tetapi harus mampu melihat secra objektif-empiris.
(Kuntowijoyo, 1994; 203).
Daftar Referensi
Keberhasilan
dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI
dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan
mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni
konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan
independensinya. (Sidratahta Muchtar, 2006; 83)
Ciri gerakan
intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas
perbedaan pendapat. Sehingga atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di tanah
air tercinta ini, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan
dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual
(intelectual community). Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual ini
setidaknya juga tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang
bertujuan, menjadikan kader (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang
mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur
dalam ridho Allah SWT.
Tradisi
intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam lintasan sejarah
pendirian HMI yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm), diwarnai pro dan kontra.
Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah
mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY),
sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY
berbeda ideologis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, berhaluan Islam.
Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga
dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta
pada 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di
Yogyakarta 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi
kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
Menghadapi
reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan
penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran
ideologi, politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara
lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi
Islam (embrio UII). Dari ceramah-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di
kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga kemudian HMI dengan cepat populer di
nusantara. Selanjutnya HMI pun mengembangkan sayapnya ke berbagai universitas,
perguruan tinggi dan akademisi di seluruh nusantar.a Dalam perjalanannya pun,
HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen.
Dengan
demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial.
Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam.
Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center of
excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di tengah meja).
Dengan
orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara operatif akan lahir
kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta hanya tunduk pada
kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat untuk
mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat inklusif
dengan tetap mempertegas independensi organisasi.
Kondisi umat dan bangsa
saat ini sangat memprihatinkan, denagn sejala bentuk ketimbangan dan
kesembrawutan di mana-mana. Unmat islam tidak lagi memegang ukhuwah islamiyah
dengan kuat sehingga perpecahan di kalangan umat islam sendiri.
Kondisi tersebut mengharuskan
pemuda beekerja keras dan saling bahu mebahu sebagai tulang punggung bangsa untuk
melakukan kebangkitan kedua sebagai mana yang dilakukan tempo dulu dengan
berdirinya boedi oetomo dan lahirnya sumpah pemuda uintuk mengisi kemerdekaaan
bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara.
Kader HMI
sebagai bagian dari pemuda harus mengambil peran penting dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dengan tetap mempertahankan
identitasnya sebagai ortganisasi kader dan membangun kembali gerakan
intelektual yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran dan kebajikan serta tetap pada independensinya.
Kita sebagai kader HMI yang
mengemban misi keumatan dan misi kebangsaan untuk kembali membangun tradisi HMI
dengan gerakan intelektualnya, karena HMI adalah organisasi kader. Peran HMI
sebagai organisasi perjuangan harus selalu kita laksanakan, berjuang buntuk
membela kaum mustad’afin.
Rahmat,
Jalaluddin. Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan
Muslim. Mizan; Badung. 1991
Muchtar,
Sidratahta. HMI dan Kekuasaan. Prestasi Pustaka; Jakarta. 2006
Saidi, Ridwan. Pemudsa
Islam dalam Dinamika Politik Bangsa. CV. Rajawali; Jakarta. 1984
Kuntowijoyo. Paradigma
Islam; Interprestasi untuk Aksi. Mizan; Bandung. 1994 Madjid,
Nurcholis. Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai dalam
Wacana Sosial Politik Kotemporer. Paramadina; Jakarta. 1998
0 komentar:
Posting Komentar