Kamis, 01 Mei 2014

Demokrasi Politik Kampus

Demokrasi Politik Kampus, Masih belum Sepenuhnya Ideal
Oleh : Wildy Istimror

Siapa yang tak kenal dengan dunia kampus, apalagi dunia kampus para aktivis social.
Selama kurang lebih dari 2 tahun saya berkecimpung di kampus, banyak bersentuhan langsung dengan demokrasi politik  ala kampus, di kampus kita belajar untuk menjadi agen perubahan akan demokrasi. Selama hampir 2 tahun telah saya pahami bagaimana berjalannya demokrasi politik dalam kampus. Namun yang saya rasakan Demokrasi politik yang di aplikasikan teman-teman mahasiswa masih belum sepenuhnya berjalan dengan idealnya
Implikasinya mahasiswa selalu apatis untuk melakukan aktivitas–aktivitas yang berkaitan dengan politik. Kontradiksi dengan hakikat mahasiswa secara ideal sebagaimana bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan, iron stock, yang secara kapasitas dan kapabilitas keilmuan harus mengimplementasikannya dalam gagasan–gagasan kritis sebagai kontrol sosial terhadap suatu hal atau suatu permasalahan.
Politik dalam pandangan klasik sebenarnya secara filosofi mengandung arti yang sangat luar biasa. Dimana segala aktivitas politik merupakan hal–hal yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bagi bersama. Berawal dari itu seharusnya mahasiswa mampu mengimplementasikan dan merealisasikannya dalam gagasan kritisnya dengan tindakan politik yang seharusnya mereka lakukan.
Tapi naïf kata demokrasi terhenti pada teatrikal kata, bukan penotalan tercapainya kolektivitas kesejahteraan yang terwakili dalam suara parlemen. Bukankah parlemen yang didiami oleh orang-orang terpilih adalah perwakilan, itu das sein lalu das solen bagaimana.
Inilah Demokrasi yang masih berdinamika dan masih belum ideal sepenuhnya demokrasi politik yang terjadi di kampus.
Demokrasi berjalin kelindan dengan politik. Aspek keterhubungan ini dapat dilihat pada apresiatifnya Negara yang mempolitikan Negara dengan kata ‘demokratis’, ‘demokrat’ dan ‘demokratisasi’. Bukan tanpa sebab kata-kata itu dipakai.
Pasalnya, apa yang terjadi saat pemira juga terjadi pada pemilihan umum di negara kita. Bila ditarik kesimpulan bahwa perpolitikan di kampus dan di negara ini memiliki hubungan yang sangat erat. Boleh dibilang, pemilu kamus menjadi ajang pendidikan berpolitik bagi mahasiswa. Sebab, mereka inilah jadi pemegang peranan dalam politik di negara ini.
Namun, layaknya perhelatan demokrasi, politik kampus juga rentan akan kecurangan-kecurangan. Misalnya, saat pemilihan umum ada politik uang, begitu juga halnya dengan kampus. Semuanya, ibarat cermin. Apa yang terjadi di politik negara ini, juga terjadi di kampus.
Saat pemilu masing-masing kampus mewujudkan teori politik, yaitu trias politica (legislatif, yudikatif dan eksekutif). Bahkan, untuk pemira di kampus juga dibentuk komisi yang sama tugasnya seperti komisi pemilihan umum. Jadi, tak salah kiranya kampus disebut negara mini. Idealnya, pendidikan demokrasi di kampus berjalan secara sehat. Sebab, hakekatnya, politik kampus hanya sebuah lembaga pembelajaran. Makanya, harus bersih dan sehat.
Jika kampus merupakan lembaga pembelajaran berdemokrasi. Setidaknya, sebagai tempat pembelajaran, kampus memberikan contoh politik secara sehat dan lebih ideal. Namun, pandangan yang saya rasakan, masih adanya oknum yang mengotori politik kampus. Misalnya, saat pemilihan suara digelar, ada pemilih ganda. Bahkan, pemasangan pamflet masih banyak melanggar aturan.
”Coba lihat, masih banyak pamflet masih terpasang. Mestinya, sebelum pemira dilaksanakan, pamflet dan poster calon kandidat sudah dilepas,” tuturnya. Permasalahan-permasalahan seperti itu, menurutnya, merupakan sisi lemah dari demokrasi di kampus. Ada oknum menurutnya bermain-main dengan demokrasi di kampus. Inilah salah satu sisi lemah dari demokrasi di kampus itu sendiri.
Disamping itu masih banyaknya mahasiswa yang apatis terhadap demokrasi politik dalam kampus, karena demokrasi politik dalam kampus apalagi saat pemilu-pemilu diadakan, banyaknya yang mengusung atas nama bendera dari beberapa organisasi ekstra kampus. Inilah yang menjadi dilemma mahasiswa sekarang, karena banyaknya persepsi dari pihak netral yang memandang setiap bendera memiliki kepentingan masing-masing
Padahal apa yang diharapkan mahasiswa dalam demokrasi yang berbasis politik, pada momen pemilu apapun ingin menjadi satu kesatuan dalam pencapaian tujuan.
Berharap dimanapun pembaca, baik dari afilisasi organisasi ekstra selayaknyalah menjadi pemersatu supaya masing-masing organisasi mahasiswa yang mengatasnamakan islam tersebut tidak berhamburan kadernya, terpecah belah mengejar akan kekuasaa, bukan kesejahteraan dalam kebersamaan
Bersatulah karena kebenaran.. bukan karena kebutaan pada golongan demi clean governance! Langkah kita saat ini adalah penentu langkah nasib bangsa kedepan. Harapannya mahasiswa juga mempraktekkan ilmunya pada pemerintahan kedepan untuk menghalau politik bejat yang masuk, tanpa menanggalkan kepentingan akademik sebagai prasyarat utama dan meminimalisasi ketidakpercayaan dunia pada politik sebab banyaknya “lingkaran setan” di lubang tersebut. Karena saat itu, disanalah kita bercermin.

0 komentar: