Demokrasi
Politik Kampus, Masih belum Sepenuhnya Ideal
Oleh : Wildy Istimror
Siapa yang tak kenal dengan dunia
kampus, apalagi dunia kampus para aktivis social.
Selama kurang lebih dari 2 tahun saya
berkecimpung di kampus, banyak bersentuhan langsung dengan demokrasi
politik ala kampus, di kampus kita
belajar untuk menjadi agen perubahan akan demokrasi. Selama hampir 2 tahun
telah saya pahami bagaimana berjalannya demokrasi politik dalam kampus. Namun
yang saya rasakan Demokrasi politik yang di aplikasikan teman-teman mahasiswa
masih belum sepenuhnya berjalan dengan idealnya
Implikasinya mahasiswa selalu apatis untuk melakukan
aktivitas–aktivitas yang berkaitan dengan politik. Kontradiksi dengan hakikat
mahasiswa secara ideal sebagaimana bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan, iron
stock, yang secara kapasitas dan kapabilitas keilmuan harus
mengimplementasikannya dalam gagasan–gagasan kritis sebagai kontrol sosial
terhadap suatu hal atau suatu permasalahan.
Politik dalam pandangan klasik sebenarnya secara filosofi
mengandung arti yang sangat luar biasa. Dimana segala aktivitas politik
merupakan hal–hal yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bagi
bersama.
Berawal dari
itu seharusnya mahasiswa mampu mengimplementasikan dan merealisasikannya dalam
gagasan kritisnya dengan tindakan politik yang seharusnya mereka lakukan.
Tapi
naïf kata demokrasi terhenti pada teatrikal kata, bukan penotalan tercapainya
kolektivitas kesejahteraan yang terwakili dalam suara parlemen. Bukankah
parlemen yang didiami oleh orang-orang terpilih adalah perwakilan, itu das sein
lalu das solen bagaimana.
Inilah Demokrasi yang masih berdinamika
dan masih belum ideal sepenuhnya demokrasi politik yang terjadi di kampus.
Demokrasi
berjalin kelindan dengan politik. Aspek keterhubungan ini dapat dilihat pada
apresiatifnya Negara yang mempolitikan Negara dengan kata ‘demokratis’,
‘demokrat’ dan ‘demokratisasi’. Bukan tanpa sebab kata-kata itu dipakai.
Pasalnya, apa yang
terjadi saat pemira juga terjadi pada pemilihan umum di negara kita. Bila
ditarik kesimpulan bahwa perpolitikan di kampus dan di negara ini memiliki
hubungan yang sangat erat. Boleh dibilang, pemilu kamus menjadi ajang
pendidikan berpolitik bagi mahasiswa. Sebab, mereka inilah jadi pemegang
peranan dalam politik di negara ini.
Namun, layaknya
perhelatan demokrasi, politik kampus juga rentan akan kecurangan-kecurangan.
Misalnya, saat pemilihan umum ada politik uang, begitu juga halnya dengan
kampus. Semuanya, ibarat cermin. Apa yang terjadi di politik negara ini, juga
terjadi di kampus.
Saat pemilu masing-masing
kampus mewujudkan teori politik, yaitu trias politica (legislatif, yudikatif
dan eksekutif). Bahkan, untuk pemira di kampus juga dibentuk komisi yang sama
tugasnya seperti komisi pemilihan umum. Jadi, tak salah kiranya kampus disebut
negara mini. Idealnya, pendidikan demokrasi di kampus berjalan secara sehat.
Sebab, hakekatnya, politik kampus hanya sebuah lembaga pembelajaran. Makanya,
harus bersih dan sehat.
Jika kampus merupakan
lembaga pembelajaran berdemokrasi. Setidaknya, sebagai tempat pembelajaran,
kampus memberikan contoh politik secara sehat dan lebih ideal. Namun, pandangan
yang saya rasakan, masih adanya oknum yang mengotori politik kampus. Misalnya,
saat pemilihan suara digelar, ada pemilih ganda. Bahkan, pemasangan pamflet
masih banyak melanggar aturan.
”Coba lihat, masih banyak
pamflet masih terpasang. Mestinya, sebelum pemira dilaksanakan, pamflet dan
poster calon kandidat sudah dilepas,” tuturnya. Permasalahan-permasalahan
seperti itu, menurutnya, merupakan sisi lemah dari demokrasi di kampus. Ada
oknum menurutnya bermain-main dengan demokrasi di kampus. Inilah salah satu
sisi lemah dari demokrasi di kampus itu sendiri.
Disamping itu masih
banyaknya mahasiswa yang apatis terhadap demokrasi politik dalam kampus, karena
demokrasi politik dalam kampus apalagi saat pemilu-pemilu diadakan, banyaknya
yang mengusung atas nama bendera dari beberapa organisasi ekstra kampus. Inilah
yang menjadi dilemma mahasiswa sekarang, karena banyaknya persepsi dari pihak
netral yang memandang setiap bendera memiliki kepentingan masing-masing
Padahal apa yang
diharapkan mahasiswa dalam demokrasi yang berbasis politik, pada momen pemilu
apapun ingin menjadi satu kesatuan dalam pencapaian tujuan.
Berharap dimanapun pembaca, baik dari
afilisasi organisasi ekstra selayaknyalah menjadi pemersatu supaya
masing-masing organisasi mahasiswa yang mengatasnamakan islam tersebut tidak
berhamburan kadernya, terpecah belah mengejar akan kekuasaa, bukan
kesejahteraan dalam kebersamaan
Bersatulah karena kebenaran.. bukan
karena kebutaan pada golongan demi clean
governance! Langkah kita saat ini adalah penentu langkah nasib
bangsa kedepan. Harapannya mahasiswa juga mempraktekkan ilmunya pada
pemerintahan kedepan untuk menghalau politik bejat yang masuk, tanpa
menanggalkan kepentingan akademik sebagai prasyarat utama dan meminimalisasi
ketidakpercayaan dunia pada politik sebab banyaknya “lingkaran setan” di lubang
tersebut. Karena saat itu, disanalah kita bercermin.
0 komentar:
Posting Komentar