Kamis, 01 Mei 2014

Masalah Sosial di Indonesia


Fenomena Sosial “Pengemis”
Pengemis adalah fenomena sosial yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcWQWW-tQ5qOCXasHm48RcRVYBA8B2EbWMbheLpkzav8hz75tJfvjM3lj8HZlMNSwjErZJ5B9dmqghKnimXiO9ltyXkSgkILKvEgwUn9YJMthF0KlLNFWr5irpayZwdOfvLpTf_99sQSs/s320/pengemis.jpg
Apa Alasan Seseorang Menjadi Pengemis
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Masalah pengemis adalah masalah yang pelik. Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Masalah pengemis, pengamen, dll., merupakan masalah dari berbagai aspek, seperti politik, sosial, dan ekonomi. Tergantung dari kacamata mana kita memandangnya.Banyak alasan yang mendasari seseorang atau sekelompok orang terjun menjadi pengemis.
Indonesia merupakan negara berkembang ‘identik dengan ‘kemiskinan’. Jadi masih mengandung kemiskinan dimana-mana, baik di kota maupun di desa. Kita dapat melihat di setiap kota pasti ada daerah yang perumahannya berhimpitan satu dengan yang lain, banyaknya pengamen, pengemis, anak jalanan dan masih banyak lagi keadaan yang dapat menggambarkan ‘masyarakat miskin perkotaan’. Bahkan di malam hari banyak orang-orang tertentu yang tidur di emperan toko pinggir jalan. Kondisi demikian sangat memprihatinkan dan harus segera di atasi.
Salah satu hal kecil yang bisa kita lakukan untuk membantu anak-anak kecil yang bekerja sebagai pengamen cilik, pedagang asongan, pengemis, dan lain sebagainya di jalanan adalah dengan tidak memberi mereka uang serta memberi tahu orang lain untuk tidak memberi juga walaupun merasa sangat kasihan.Apabila tidak ada satu orang pun yang memberi mereka uang, maka anak-anak jalanan tersebut tidak akan ada. Alangkah lebih baik jika uang tersebut kita kumpulkan untuk membantu biaya pendidikan mereka daripada kita membantu biaya foya-foya preman yang mempekerjapaksa anak di bawah umur, biaya hidup orangtua yang memaksa anaknya bekerja di jalan sedangkan mereka hanya melihat dari jauh, dan lain sebagainya. Jika mereka terbiasa mendapat uang mudah dari bekerja di jalan, maka mereka setelah besar / dewasa kelak akan tetap menjadi pekerja jalanan.
Bagaimana Cara Pemerintah Dalam Mengatasi Pengemis Yang Belakangan Mulai Marak
Adakah korelasi antara Pengemis dan Jati Diri Bangsa, Tentu keduanya punya hubungan yang saling terkait. Pengemis bisa dikatakan kegiatan yang dilarang oleh agama. Bagaimanapun juga tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Dan kita harus menghindari semaksimal mungkin kegiatan mengemis ini demi Mengembalikan Jati Diri Bangs Untuk membatasi perilaku mengemis, masyarakat juga ikut dihimbau untuk tidak memberikan sedekah sembarangan. Jika ingin bersedekah, masyarakat diminta untuk menyalurkannya ke orang yang pantas menerimanya.
Harus diakui bahwa keberadaan Pengemis dan Pengamen adalah masalah sosial. Dan masalah Pengemis adalah domain pemerintah, baik pemda, pemkot, maupun pemerintah pusat serta tanggung jawab kita bersama. Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) sejatinya telah melakukan penanganan Pengemis. Pengemis telah diberikan bekal pendidikan ketrampilan dan tempat tinggal di panti sosial dengan harapan agar mereka tidak lagi turun ke jalan untuk mengemis. Namun, lantaran sulit mendapat kerja, Pengemis yang telah diberi pembinaan itu kembali lagi harus mengemis.
Soal mengemis ini memang erat kaitannya dengan soal kemiskinan dan ketersediaan lapangan pekerjaan.Mayoritas memang demikian halnya, walau dalam beberapa kasus tidak semata-mata hanya soal kemiskinan saja. Bahkan, dalam dalam beberapa kasus tertentu, bahkan ada kaitannya dengan soal budaya tradisi.
Pengemis menjadi sebuah profesi yang menghasilkan banyak keuntungan. Ada yang sehari bisa mendapatkan uang kotor lebih dari Rp. 50 ribu bahkan Rp.100 ribu. Menurut sebuah penelitian di Malang,dalam waktu sehari, jumlah uang receh yang beredar mencapai Rp. 1 milyar!
Dana yang disediakan untuk mengatasi kemiskinan sendiri disalurkan oleh pemerintah melalui beberapa program seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Sejak 2007, anggaran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) diluncurkan sekitar Rp0,5-1,5 miliar per kecamatan dan diupayakan naik menjadi Rp3 miliar sejak 2008. Da harus diakui bahwa program tersebut-pun masih pro-kontra dan bahkan bisa dibilang kurang berhasil menangani masalah Pengemis yang masih banyak jumlahnya. Persoalan Pengemis ini juga bukan hanya monopoli urusannya Negara Indonesia saja.Di beberapa negara makmur dan negara maju juga mempunyai masalah yang serupa. Amerika Serikat, Australia, bahkan Arab Saudia juga mempunyai masalah yang serupa.
Di USA, pernyataan departemen tenaga kerja AS pada bulan April menyatakan terdapat sebanyak enam juta orang yang menerima tunjangan pengangguran yang notabene kemungkinan besar juga berprofesi sebagai pengemis. Berdasarkan sensus 2006, Kantor Statistik Australia mencatat ada 27.374 tuna wisma di New South Wales (NSW) yang kemungkinan besar juga berprofesi sebagai Pengemis. Sedangkan di Saudi, Berdasarkan laporan tahunan terbaru dari Kementerian Sosial, ada 5.207 pengemis Saudi di kerajaan itu, dan 21.136 pengemis yang bukan orang Saudi. Jumlah totalnya menurun dibandingkan tahun lalu yang berjumlah 30.008.
Untuk membatasi perilaku mengemis, masyarakat juga ikut diimbau untuk tidak memberikan sedekah sembarangan. Jika ingin bersedekah, masyarakat diminta untuk menyalurkannya ke orang yang pantas menerimanya.

Bagaimana Pandangan Masyarakat Terhadap Pengemis
 
Sebagian besar masyarakat tidak menyukai pengemis mereka merasa bahwa pengemis itu hanya mengganggu mereka atau merugikan, karena mereka harus memberi sebagian uang mereka untuk pengemis dimana jika tidak diberi ada sebagian pengemis yang tidak beranjak pergi. Di kafe-kafe atau kos-kos, dan toko atau institusi pendidikan misalnya kampus sering terpampang slogan atau tulisan yang intinya tidak melayani sumbangan dalam bentuk apapun. Sekalipun tidak ada tulisan tersebut, kebanyakan masyarakat begitu mengetahui ada pengemis mereka langsung menghidar atau pura-pura tidak tahu dan kalaupun terpaksa harus bertemu orang tersebut tidak akan memberinya uang atau tetap memberi tetapi dengan perasaan kesal, tidak ikhlas.
Bila kita berniat untuk sedekah, ada baiknya sedekah itu disalurkan melalui Bazis (Badan Amil, Zakat, Infak, dan Shadaqah), meski jumlahnya sangat sedikit. Menyalurkan sedekah lewat lembaga amal lebih aman daripada memberi di jalanan. Selain itu, lembaga ini akan memberikan sedekah pada orang yang berhak dan tepat sasaran, sehingga tidak perlu khawatir akan adanya penyelewengan.

Demokrasi Politik Kampus

Demokrasi Politik Kampus, Masih belum Sepenuhnya Ideal
Oleh : Wildy Istimror

Siapa yang tak kenal dengan dunia kampus, apalagi dunia kampus para aktivis social.
Selama kurang lebih dari 2 tahun saya berkecimpung di kampus, banyak bersentuhan langsung dengan demokrasi politik  ala kampus, di kampus kita belajar untuk menjadi agen perubahan akan demokrasi. Selama hampir 2 tahun telah saya pahami bagaimana berjalannya demokrasi politik dalam kampus. Namun yang saya rasakan Demokrasi politik yang di aplikasikan teman-teman mahasiswa masih belum sepenuhnya berjalan dengan idealnya
Implikasinya mahasiswa selalu apatis untuk melakukan aktivitas–aktivitas yang berkaitan dengan politik. Kontradiksi dengan hakikat mahasiswa secara ideal sebagaimana bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan, iron stock, yang secara kapasitas dan kapabilitas keilmuan harus mengimplementasikannya dalam gagasan–gagasan kritis sebagai kontrol sosial terhadap suatu hal atau suatu permasalahan.
Politik dalam pandangan klasik sebenarnya secara filosofi mengandung arti yang sangat luar biasa. Dimana segala aktivitas politik merupakan hal–hal yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bagi bersama. Berawal dari itu seharusnya mahasiswa mampu mengimplementasikan dan merealisasikannya dalam gagasan kritisnya dengan tindakan politik yang seharusnya mereka lakukan.
Tapi naïf kata demokrasi terhenti pada teatrikal kata, bukan penotalan tercapainya kolektivitas kesejahteraan yang terwakili dalam suara parlemen. Bukankah parlemen yang didiami oleh orang-orang terpilih adalah perwakilan, itu das sein lalu das solen bagaimana.
Inilah Demokrasi yang masih berdinamika dan masih belum ideal sepenuhnya demokrasi politik yang terjadi di kampus.
Demokrasi berjalin kelindan dengan politik. Aspek keterhubungan ini dapat dilihat pada apresiatifnya Negara yang mempolitikan Negara dengan kata ‘demokratis’, ‘demokrat’ dan ‘demokratisasi’. Bukan tanpa sebab kata-kata itu dipakai.
Pasalnya, apa yang terjadi saat pemira juga terjadi pada pemilihan umum di negara kita. Bila ditarik kesimpulan bahwa perpolitikan di kampus dan di negara ini memiliki hubungan yang sangat erat. Boleh dibilang, pemilu kamus menjadi ajang pendidikan berpolitik bagi mahasiswa. Sebab, mereka inilah jadi pemegang peranan dalam politik di negara ini.
Namun, layaknya perhelatan demokrasi, politik kampus juga rentan akan kecurangan-kecurangan. Misalnya, saat pemilihan umum ada politik uang, begitu juga halnya dengan kampus. Semuanya, ibarat cermin. Apa yang terjadi di politik negara ini, juga terjadi di kampus.
Saat pemilu masing-masing kampus mewujudkan teori politik, yaitu trias politica (legislatif, yudikatif dan eksekutif). Bahkan, untuk pemira di kampus juga dibentuk komisi yang sama tugasnya seperti komisi pemilihan umum. Jadi, tak salah kiranya kampus disebut negara mini. Idealnya, pendidikan demokrasi di kampus berjalan secara sehat. Sebab, hakekatnya, politik kampus hanya sebuah lembaga pembelajaran. Makanya, harus bersih dan sehat.
Jika kampus merupakan lembaga pembelajaran berdemokrasi. Setidaknya, sebagai tempat pembelajaran, kampus memberikan contoh politik secara sehat dan lebih ideal. Namun, pandangan yang saya rasakan, masih adanya oknum yang mengotori politik kampus. Misalnya, saat pemilihan suara digelar, ada pemilih ganda. Bahkan, pemasangan pamflet masih banyak melanggar aturan.
”Coba lihat, masih banyak pamflet masih terpasang. Mestinya, sebelum pemira dilaksanakan, pamflet dan poster calon kandidat sudah dilepas,” tuturnya. Permasalahan-permasalahan seperti itu, menurutnya, merupakan sisi lemah dari demokrasi di kampus. Ada oknum menurutnya bermain-main dengan demokrasi di kampus. Inilah salah satu sisi lemah dari demokrasi di kampus itu sendiri.
Disamping itu masih banyaknya mahasiswa yang apatis terhadap demokrasi politik dalam kampus, karena demokrasi politik dalam kampus apalagi saat pemilu-pemilu diadakan, banyaknya yang mengusung atas nama bendera dari beberapa organisasi ekstra kampus. Inilah yang menjadi dilemma mahasiswa sekarang, karena banyaknya persepsi dari pihak netral yang memandang setiap bendera memiliki kepentingan masing-masing
Padahal apa yang diharapkan mahasiswa dalam demokrasi yang berbasis politik, pada momen pemilu apapun ingin menjadi satu kesatuan dalam pencapaian tujuan.
Berharap dimanapun pembaca, baik dari afilisasi organisasi ekstra selayaknyalah menjadi pemersatu supaya masing-masing organisasi mahasiswa yang mengatasnamakan islam tersebut tidak berhamburan kadernya, terpecah belah mengejar akan kekuasaa, bukan kesejahteraan dalam kebersamaan
Bersatulah karena kebenaran.. bukan karena kebutaan pada golongan demi clean governance! Langkah kita saat ini adalah penentu langkah nasib bangsa kedepan. Harapannya mahasiswa juga mempraktekkan ilmunya pada pemerintahan kedepan untuk menghalau politik bejat yang masuk, tanpa menanggalkan kepentingan akademik sebagai prasyarat utama dan meminimalisasi ketidakpercayaan dunia pada politik sebab banyaknya “lingkaran setan” di lubang tersebut. Karena saat itu, disanalah kita bercermin.